Suasana stasiun kereta tidak terlalu ramai, stasiun ini hanya stasiun pembantu yang kebetulan terletak di kampungku. Namun panasnya mentari yang bersinar kala itu sedikit membuatku merasa supek dan gerah. Sekarang baru pukul sembilan pagi, kereta datang pada pukul sepuluh dari arah Rantau Prapat menuju Medan, dan memang Medanlah kota yang hendak kutuju. Sambil menunggu aku duduk di deretan bangku besi dan mengambil tempat di sudut belakang.
Tepat pukul sepuluh, kereta yang kutunggu pun muncul dari arah selatan, aku bergegas ke pinggir rel dan menuju gerbong III mencari tempat duduk. Awalnya aku mengira gerbong itu penuh dan berniat menuju gerbong yang lain, namun belum lama aku bergerak seseorang memanggilku, suara laki-laki.
“Bang, di sini kosong.” ternyata seorang penjual POP MIE sengaja duduk di bangku tersebut karena di sebelahnya ada gadis muda yang lumayan cantik, mungkin lelaki itu iseng menggoda. Aku menuju ke tempat yang disebut, dan menanyakan terlebih dahulu apakah ada yang menempati bangku kosong tersebut. wanita itu menggeleng, namun si penjual nyeletuk.
“Sengaja aku sediakan buat abang, mantap tu bang. Hahahaha…..!”
“Tapi jangan lupa, nanti kalau lapar panggil aku ya bang, belilah POP MIE dariku, oke bang!” lelaki itu berkata sambil mengerdipkan sebelah matanya., aku hanya tersenyum menganggukkan kepala sedikit seraya mengucapkan terima kasih. Dia pun pergi berlalu menjajakan dagangannya. Inilah kehidupan di kereta, jumlah pedagang dan pengamen hampir berimbang dengan jumlah penumpang. Maka jangan heran selasar gerbong dipenuhi pedagang yang lalu lalang, berpindah dari satu gerbong ke gerbong yang lain menawarkan aneka macam jajanan dan mainan anak kecil. Dan dapat dipastikan orang tua yang membawa anaknya yang masih kecil akan kewalahan menghadapi rengekan si anak yang meminta ini itu.
Aku menoleh ke arah wanita di sebelahku dan menyunggingkan senyum. Dia membalasnya. Lalu kuedarkan pandangku ke penjuru gerbong melihat aktifitas para penumpang. Sebenarnya ingin aku memandang wanita itu lagi dan lagi, tapi aku tak ingin membuatnya risih dengan pandanganku.. Wanita dengan rambut panjang tergerai lurus, kulit putih dan wajahnya sangat menawan. Ia mengenakan setelan kaos ketat hijau pupus dan celana jeans biru yang juga ketat.
“Mau kemana bang?” tanyanya tiba-tiba. Aku agak terkejut dan gugup mendengar pertanyaannya.
“Mau ke Medan, mbak sendiri mau ke mana?”
“Oh sama, aku juga mau ke Medan. Aku Dinda, nama abang siapa?” sebenarnya aku malu karena dia yang lebih dahulu mengenalkan diri, tapi tak apalah.
“Aku Arif. Aku kuliah di Medan, di USU. Kamu sendiri masih kuliah ya?” tanyaku dengan maksud tidak didahului oleh Dinda.
Satu jam kami memperkenalkan diri dan berbicara yang awam saja. Setelah itu aku tertidur, sudah menjadi kebiasaanku setiap di perjalanan aku tidur walau cuma setengah jam. Dari perkenalan itu aku sedikit banyak mengetahui jati diri Dinda. Dia berasal dari Rantau Prapat dan kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta, fakultas kedokteran. Mengertilah aku dia pasti anak yang ekonominya tergolong lumayan. Dan menurut analisisku sendiri dia termasuk gadis metropolitan dan dapat dikategorikan anak gaul.
Aku terbangun setengah jam kemudian, masih jauh ternyata perjalananku, kira-kira 2 jam lebih. Aku menoleh ke arah Dinda, rupanya dia tidak tidur dan sedang membaca novel remaja. Ia memandangku dan tersenyum.
“Mimpi apa Rif? Nggak mimpi’in aku kan? Hehehe…becanda” Dia tertawa kecil.
“Ada sih, tapi numpang lewat. Nggak jadi pemeran utama tuh.” Balasku dengan kelakar juga. Dinda tersenyum, manis sekali.
“Sekarang kamu kan sudah bangun, mau nggak temenin aku ngobrol?” pinta Dinda seraya menutup novel yang dibacanya tadi.
“Tentu saja, dengan senang hati.” Jujur aku merasa senang dengan tawarannya, lebih baik ngobrol daripada membisu sepanjang perjalanan. Sementara kereta terus melaju di tengah-tengah perkebunan sawit, sejauh mata memandang hanya itulah yang tampak. Di luar mentari masih terus leluasa bersinar, hanya sedikit awan tipis yang mengambang. Sementara laju kereta yang cukup kencang memberikan kenyamanan tersendiri di dalam kereta. Angin berhembus melalui jendela atas yang dapat dibuka. Sesekali angin tersebut meniup beberapa helai rambut Dinda dengan lembut. Indah sekali.
“Kau punya pacar Rif?” tanyanya tiba-tiba. Belum sempat aku menjawab, Dinda langsung menambahi.
“Maaf jika pertanyaanku terlalu pribadi, kau berhak untuk tidak menjawab.”
“Oh, nggak masalah. Aku nggak punya pacar sejak enam bulan lalu. Sudah putus karena suatu masalah.” Aku menjawab seadanya saja, belum pantas rasanya aku membagi semua yang kurasakan.
“Kenapa tidak mencari pacar lagi? Dari tampangmu aku menilai kalau kau bisa memilih wanita mana saja yang kamu suka.”
“Ah…., aku nggak tahu. Mungkin aku termasuk cowok yang melankolis, kolot, dan memaknai pacaran sebagai sebuah keseriusan untuk ke depannya. Aku nggak bisa gitu aja melupakan wanita yang pernah kucintai dan nggak gampang juga mencari cinta yang lain.” Namun tiba-tiba saja Dinda tertawa, sejurus kemudian ia tersenyum, senyum sinis. Aku benci sekali senyum itu
“Kenapa kau seperti mengejekku?” Aku bertanya dengan sedikit dongkol.
“Persetan dengan cinta seperti itu Rif. Sadarkah kau kita hidup di jaman apa sekarang ini? Otakmu terlalu naïf mengartikan cinta seperti itu. Yang seperti itu hanya ada di jaman nenek kita, cinta yang kamu maksud memang ada sekarang ini, tapi di lirik-lirik lagu. Di dunia nyata jangan kau harapkan. Di mana kau dapatkan cinta seperti itu lagi, hanya ada seribu banding satu Rif.” Dinda kembali tersenyum sinis sambil menggeleng-gelengkan kepala. Aku benci sekali sikapnya ketika itu.
Aku diam demi mendengar kata-katanya tadi. Sudah kuduga sebelumnya, Dinda adalah wanita yang tidak mengerti dengan duniaku, Dinda korban dari mode hidup bebas ala Amerika. Mungkin bagi orang-orang sepertiku kata-kata yang meluncur deras dari mulutnya sangat tidak sopan, tapi bagi Dinda itu sudah biasa bahkan lebih dari itu pasti ia sering mendengar dan mengucapkannya.
“Lalu kau sendiri?” Aku balik bertanya kepadanya.
“Aku…, aku tak punya cinta seperti yang kau maksud. Pacarku banyak, lebih dari lima mungkin, atau mungkin lebih dari sepuluh, ah entahlah, aku tak ingat. Aku pacaran bukan atas nama cinta, tapi senang, kesenangan dan sama-sama senang. Hahaha…..! Setiap hari aku hidup bebas, bosan dengan yang satu aku beralih ke yang lain, bosan dengan yang ada aku cari lelaki lain. Itulah caraku pacaran Rif, jauh berbeda dengan gaya pacaranmu yang jadul.” Dinda diam sesaat.
“Maaf kalau aku menyinggung perasaanmu. Bukannya aku tak punya cinta yang seperti itu, aku punya dan pernah, tapi itu dulu. Tapi lelaki yang kucintai itu kurang ajar, iblis keparat. Ya, pasti tahulah kau apa yang dilakukannya padaku.” Dinda tiba-tiba diam sunyi, kesunyian yang sepertinya sangat dalam dan penuh dengan kepahitan masa lalu.
“Tak perlu kau ceritakan semuanya jika itu menyakitkan hatimu sendiri.” Aku mencoba memecah sunyi yang membuatku tak enak hati. Namun untunglah satu kelompok pengamen datang mengusir keheningan sesaat. Mereka berjumlah lima orang dan mengenakan seragam baju koko. Lucu juga, kesannya seperti dipaksakan untuk menampilkan gaya ala penyanyi nasyid, tapi perlatan musik mereka tergolong lengkap, dua orang memainkan biola, satu orang memainkan organ tunggal ukuran kecil dan dua orang lainnya memainkan gitar, semuanya bertindak sebagai vokalis juga. Benarlah, dua buah lagu yang mereka bawakan lagu-lagu nasyid milik Raihan dan Opick. Di saat para pengamen tersebut menyanyi sempat kulirik Dinda sebentar, ia tampak diam saja dan memandang ke luar jendela, entah apa yang sedang dipikirkannya.
Setelah para pengamen berlalu suasana kembali lengang, aku pun masih bingung untuk memulai pembicaraan lagi. Dinda pun kulihat seperti melamunkan sesuatu, tak mungkin ia tersentuh dengan lagu-lagu pengamen tadi, Dinda takkan mungkin berubah secepat itu pikirku.
“Pasti kau berpikir aku sudah tidak virgin lagi?” Pertanyaannya kali ini benar-benar membuat aku demikian bingung dan serba salah. Aku terlalu takut menyinggung perasaannya, aku memilih diam saja tak menjawab.
“Aku tahu kau sempat berfikiran seperti itu karena aku bilang kalau lelaki yang aku cintai itu iblis keparat, juga karena kehidupanku yang terlalu bebas. Kau terlalu cepat mengambil kesimpulan Rif, tanpa bertanya lebih dalam. Aku heran ada ya cowok sepasif kamu?” Aku hanya diam mendengar kata-katanya. Kuakui aku orangnya pasif dan suka menduga-duga. Mungkin Dinda kecewa dengan sikapku.
“Aku masih virgin. Kalau hampir hilang….,itu sering terjadi. Perawanku sangat kujaga Rif, aku sadar suatu saat nanti aku juga harus menikah dan berubah. Aku nggak mau ngecewain calon suamiku dan keluargaku. Tentang lelaki yang aku bilang iblis itu, ah boleh dibilang mbahnya iblis, dialah yang mengenalkan kota Medan kepadaku termasuk dunia hitamnya. Awalnya dia sangat baik padaku, karena baiknya aku rela menghabiskan seluruh kiriman dari orang tuaku dan tabunganku saat dia bilang butuh uang. Sampai di situ aku masih percaya si keparat itu, hingga suatu hari dia membawaku ke diskotik. Seperti biasa, teman-temannya sudah menunggu di sana, dan entah kenapa tanpa sepengetahuanku dia pergi begitu saja saat aku sedang mabuk. Teman-temannya mulai bertindak kurang ajar dan bilang kalau aku telah mereka sewa. Saat itulah aku sadar kalau aku sudah dibohonginya mentah-mentah.” Aku menarik nafas panjang demi mendengar ceritanya, tahulah aku mengapa Dinda begitu membenci lelaki yang disebutnya sebagai iblis.
“Tapi kenapa kau masih memilih hidup seperti ini, bukankah kau telah sadar kekeliruanmu?” Aku masih sedikit heran, entah kenapa Dinda mau menceritakan kehidupan pribadinya kepadaku.
“Ini beda Rif, jujur aku masih ingin senang-senang tapi tanpa mengeluarkan uang sepeser pun, bahkan kalau bisa aku mendapat uang dari kesenanganku.”
“Maksudmu kau mempeloroti pacar-pacarmu?” Tanyaku penasaran.
“Bisa dibilang begitu, sekalian aku ingin membalas dendam. Sama sepertiku, aku memacari cowok-cowok ingusan, yang belum tahu betapa munafiknya hidup di kota. Sampai saat ini aku cukup senang dengan perbuatanku. Oh ya, kau harus hati-hati denganku, mungkin suatu saat kamu adalah mangsaku.” Dia tertawa cekikikan, aku hanya tersenyum.
Tak terasa sekarang kereta sedang melaju di sekitar Perbaungan, mungkin kurang dari sejam kereta yang kami tumpangi sampai di Medan. Pemandangan di luar telah berganti menjadi hamparan sawah yang masih hijau, tapi kadang-kadang melewati barisan rumah penduduk bagian belakang. Dan jangan tanyakan lagi bagaimana matahari menyengat, semakin siang ia laksana bola api yang seolah hendak menghanguskan permukaan bumi.
“Suatu saat aku harus berhenti Rif, tapi bukan sekarang.” Katanya pelan
“Alangkah baiknya jika dari sekarang kau berubah Dinda, pasti masih banyak laki-laki baik yang ingin menjadi pacarmu.”
“Jangan kau bilang kau salah satu dari lelaki baik itu.” Dia kembali tertawa, kali ini lepas tawanya, dan aku malu mendengar ia berkata demikian. Wajar aku punya keinginan memiliki pacar secantik dia apalagi kalau dia wanita baik-baik.
“Kita sudah dekat, sebaiknya kita bersiap-siap.” Ucapannya membuatku tersadar kalau kereta sudah memasuki kota Medan. Kami pun bersiap membereskan barang bawaan masing-masing. Aku sengaja tidak menawarkannya untuk pulang sama, ia dijemput pacarnya, entah yang keberapa.
Laju kereta semakin pelan, sirene kereta sering terdengar menggema dipantulkan gedung-gedung bertingkat. Dan sesaat sebelum kereta berhenti, Dinda berdiri seraya mengucapkan sesuatu.
“Ingat, suatu saat mungkin kamu mangsaku.” Ia tertawa, aku juga tertawa. Lalu dia pamit dan beranjak ke pintu kereta. Aku terlupa sesuatu, segera kucari Dinda. Ia sudah turun, tapi aku masih bisa memanggilnya.
“Dinda, aku lupa. Boleh aku menyimpan nomor HPmu?”
“Sebaiknya tidak usah. Nanti jika aku benar-benar ingin berubah, aku yang akan mencarimu. Aku pergi ya.” Dinda tersenyum, lalu pergi begitu saja. Aku hanya berdiri memandangi langkahnya, tepat di gerbang seorang lelaki mendekati Dinda dan kemudian mengangkat kopernya. Dinda sempat mengarahkan pandangannya kepadaku dan tersenyum sekilas. Mungkinkah dia berubah dan mencariku? Akupun bergegas meninggalkan stasiun untuk bersiap menghadapi kemunafikan kota Medan.
Medan, penghujung Januari 2010